Isu pengelolaan Gedung Olahraga (GOR) di lingkungan kampus selalu menarik untuk diperbincangkan, terutama ketika muncul perdebatan antara Fakultas Teknik dan Fakultas Olahraga tentang siapa yang lebih berhak dan lebih efektif mengurusnya. Di tengah perdebatan itu, ada satu lembaga non-fakultatif yang sering terlupakan: Unit Kegiatan Olahraga (UKO). Padahal, UKO memiliki potensi besar sebagai jembatan kolaboratif antara sisi teknokratis dan sisi fungsional olahraga.
Pertanyaan yang mengemuka adalah: mengapa Fakultas Teknik kerap dianggap lebih efektif dan efisien mengelola GOR dibanding Fakultas Olahraga? Dan lebih jauh lagi, apakah UKO tidak semestinya menjadi aktor utama yang mengorkestrasi kolaborasi tersebut?
Pro: Efisiensi Teknis dan Argumen Fakultas Teknik
Secara struktural, Fakultas Teknik memiliki kompetensi dalam aspek teknologi, konstruksi, sistem utilitas, dan efisiensi energi yang melekat pada bangunan seperti GOR. Pengelolaan GOR bukan sekadar urusan olahraga, tetapi juga manajemen fasilitas publik, perawatan gedung, pengaturan sistem ventilasi, listrik, hingga keselamatan struktural. Dalam konteks ini, keunggulan Fakultas Teknik adalah kemampuannya membangun sistem operasional berbasis data dan teknologi.
Siregar dan Ismiyati (2018) menunjukkan bahwa pengelolaan infrastruktur kampus yang terkoordinasi melalui unit teknis di bawah fakultas teknik atau bidang prasarana mampu meningkatkan efisiensi dan keberlanjutan kampus. Pendekatan ini menekankan preventive maintenance, efisiensi energi, dan manajemen lanskap berbasis teknologi ramah lingkungan, sebagaimana diterapkan dalam studi kasus Universitas Indonesia.
Selain itu, dari sisi administrasi dan efisiensi anggaran, Fakultas Teknik umumnya memiliki struktur pengawasan dan audit proyek yang ketat. GOR bukan hanya tempat latihan atau pertandingan, tetapi juga aset kampus yang bernilai tinggi. Maka, dari perspektif teknis, keterlibatan Fakultas Teknik menjamin keberlanjutan fungsi dan keamanan fasilitas.
Kontra: Hakikat GOR adalah untuk Olahraga, Bukan Sekadar Bangunan
Namun di sisi lain, Fakultas Olahraga memiliki argumen yang kuat. Mereka menilai bahwa GOR adalah ruang fungsional pendidikan jasmani, bukan sekadar bangunan fisik. Di dalamnya berlangsung proses pembelajaran, riset biomekanika, pelatihan prestasi, dan pengembangan kapasitas mahasiswa. Dalam perspektif ini, GOR bukan infrastruktur mati — ia adalah laboratorium hidup (living lab) bagi pengembangan ilmu keolahragaan.
Sebagaimana dijelaskan oleh Alasinrin, Abubakar, dan Adeleye (2023), kualitas fasilitas olahraga dan peralatan yang memadai tidak hanya berpengaruh terhadap performa fisik atlet, tetapi juga pada kesiapan psikologis mereka. Pengelolaan fasilitas yang terlepas dari konteks keilmuan olahraga dapat menurunkan efektivitas pelatihan karena tidak mempertimbangkan aspek mental, ergonomi, dan kebutuhan fisiologis atlet.
Mereka menegaskan bahwa ketika GOR hanya dilihat dari aspek teknis, dimensi kemanusiaan dan pedagogis olahraga sering terabaikan. Karena itu, fakultas olahraga berpendapat bahwa mereka memiliki legitimasi fungsional untuk memimpin pengelolaan, dengan fakultas teknik sebagai mitra teknis, bukan sebaliknya.
Peran UKO sebagai Penyeimbang Sistem dan Leadership
Di tengah tarik-menarik itu, Unit Kegiatan Olahraga (UKO) sebenarnya dapat menjadi penyeimbang yang strategis. UKO adalah lembaga mahasiswa lintas fakultas yang mengelola 10–15 cabang olahraga. Mereka memahami kebutuhan pengguna GOR secara langsung, baik dalam konteks latihan, kompetisi, maupun kegiatan kemahasiswaan. Artinya, UKO punya posisi unik sebagai representasi pengguna (user representative) dalam sistem tata kelola kampus.
Model kolaboratif seperti ini sebenarnya telah banyak diterapkan di kampus besar. Di Universitas Gadjah Mada (UGM), misalnya, GOR diserahkan ke pengelolaan bersama antara Direktorat Sarana Prasarana, Fakultas Ilmu Keolahragaan, dan UKM olahraga mahasiswa, dengan sistem peminjaman digital dan pengawasan terintegrasi. Pendekatan ini memperlihatkan efektivitas ketika fakultas dan unit kemahasiswaan berbagi peran secara proporsional.
Dalam konteks teori organisasi, Mintzberg (1979) dalam The Structuring of Organizations menyebutkan bahwa organisasi publik seperti universitas sebaiknya menerapkan “adhocracy”, yakni sistem kolaboratif yang adaptif terhadap dinamika tugas dan keahlian. UKO dapat menjadi adhocratic node yang menjembatani antara struktur teknokratis Fakultas Teknik dan struktur edukatif Fakultas Olahraga.
Pro dan Kontra dalam Perspektif Kelembagaan
| Aspek | Fakultas Teknik (Pro) | Fakultas Olahraga (Kontra) | Peran UKO (Solusi Kolaboratif) |
|---|---|---|---|
| Efisiensi Energi dan Biaya | Menggunakan sistem monitoring teknis, lebih efisien secara anggaran | Fokus pada fungsi akademik dan pelatihan, kurang optimal dalam efisiensi biaya | UKO dapat membantu membuat sistem penggunaan terjadwal untuk efisiensi daya |
| Keamanan Bangunan | Ahli dalam inspeksi struktural, ventilasi, dan keselamatan | Bergantung pada pihak luar untuk urusan teknis | UKO dapat mengawasi penggunaan aman melalui SOP kegiatan |
| Fungsi Edukasi dan Riset | Tidak menjadi prioritas utama | Inti dari kegiatan akademik fakultas olahraga | UKO dapat menjaga keseimbangan fungsi edukatif dan kompetitif |
| Akses dan Penggunaan Mahasiswa | Kadang terlalu birokratis dan administratif | Lebih terbuka untuk kegiatan mahasiswa | UKO dapat menjamin transparansi akses dan pemakaian GOR |
Refleksi dan Arah Kolaborasi Baru
Persoalan siapa yang paling berhak mengurus GOR sejatinya bukanlah masalah “siapa lebih layak”, melainkan “siapa bersedia berkolaborasi.” Dalam sistem kampus modern, pembagian peran berbasis keahlian dan fungsi jauh lebih efektif daripada pendekatan sektoral.
GOR kampus bisa dikelola dengan model triple-collaboration system:
- Fakultas Teknik sebagai technical and maintenance lead (penanggung jawab teknis bangunan dan utilitas),
- Fakultas Olahraga sebagai functional and academic lead (penanggung jawab aktivitas akademik dan kurikuler),
- UKO sebagai operational and user lead (pengatur jadwal, turnamen, dan kegiatan mahasiswa).
Dengan model seperti ini, keberlanjutan pengelolaan GOR dapat dijamin dari tiga sisi: teknis, fungsional, dan partisipatif.
Penutup: Dari Rivalitas Menuju Sinergi
Dalam konteks lebih luas, perdebatan antara Fakultas Teknik dan Fakultas Olahraga hanyalah simbol dari pertarungan paradigma antara sistem dan leadership. Fakultas Teknik mewakili sisi sistem — rasional, efisien, terukur; sementara Fakultas Olahraga mewakili sisi leadership — manusiawi, motivasional, dan berbasis pembentukan karakter.
Di tengah keduanya, UKO hadir sebagai wadah yang menyatukan nilai-nilai Insan Cita sebagaimana sering disuarakan dalam opini di laman GEMA NUSANTARA: bahwa kepemimpinan sejati bukanlah tentang siapa yang berkuasa, tetapi siapa yang mau mengabdi untuk kebermanfaatan bersama.
Maka, pengelolaan GOR idealnya bukan sekadar persoalan teknis, administratif, atau akademik, tetapi juga politik nilai dan tanggung jawab moral sivitas akademika. Jika Fakultas Teknik, Fakultas Olahraga, dan UKO mampu melihat GOR bukan sebagai “aset fakultas,” tetapi sebagai ruang pembentukan insan berintegritas, maka kolaborasi ini akan menjadi model manajemen kampus yang beradab, berdaya, dan berkelanjutan.
Penulis : Redaksi Gema Nusantara
