Pidato Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, di Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), New York, 22 September 2025 menjadi sorotan diplomasi global. Dengan lantang, Prabowo menegaskan bahwa Indonesia tetap konsisten mendukung solusi dua negara (two-state solution) sebagai jalan satu-satunya menuju perdamaian di Timur Tengah. Pernyataannya jelas: Indonesia akan mengakui Israel hanya setelah Israel mengakui kemerdekaan Palestina.
Pidato ini sekaligus menunjukkan kesinambungan politik luar negeri Indonesia sejak awal kemerdekaan yang berpijak pada prinsip bebas aktif dan amanat Pembukaan UUD 1945: “kemerdekaan adalah hak segala bangsa”.
“Kita harus menjamin kenegaraan Palestina, tetapi setelah Israel mengakui kemerdekaan Palestina, Indonesia akan segera mengakui Negara Israel dan kami akan mendukung semua jaminan keamanan Israel.” – Prabowo Subianto, PBB, 22 September 2025 (Kompas.com, 2025).
Dimensi Geopolitik Global
Konflik Palestina–Israel telah berlangsung lebih dari tujuh dekade. Isu ini bukan sekadar pertikaian dua bangsa, melainkan titik panas geopolitik global yang melibatkan kekuatan besar dunia.
Amerika Serikat secara historis mendukung Israel, baik secara militer maupun diplomatis.
Eropa terbelah antara dorongan moral untuk mengakui Palestina dan kepentingan strategis mempertahankan hubungan dengan Israel.
Tiongkok dan Rusia memanfaatkan isu Palestina untuk menyeimbangkan pengaruh AS di Timur Tengah.
Indonesia, dengan pidato Prabowo, menempatkan dirinya sebagai penyeimbang moral di tengah pertarungan geopolitik ini. Henry Kissinger dalam Diplomacy (1994) menegaskan, perdamaian hanya mungkin tercapai bila ada rekognisi timbal balik yang dijaga oleh konsensus internasional. Sikap Indonesia sejalan dengan prinsip tersebut: pengakuan hanya akan bermakna bila ada kesetaraan politik antara Palestina dan Israel.
Indonesia dan Dunia Islam
Sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, Indonesia memiliki tanggung jawab moral dalam isu Palestina. Dukungan Indonesia bukan hanya atas dasar solidaritas agama, tetapi juga sebagai perwujudan prinsip kemanusiaan universal.
Noam Chomsky dalam Gaza in Crisis (2010) menggambarkan penderitaan rakyat Palestina sebagai bentuk “kolonialisme modern” yang menciptakan krisis kemanusiaan berkepanjangan. Pidato Prabowo yang mengutuk kekerasan terhadap warga sipil, khususnya perempuan dan anak-anak, memperkuat citra Indonesia sebagai suara kemanusiaan di dunia internasional.
Implikasi bagi ASEAN
Sikap Indonesia terhadap Palestina juga berdampak pada politik kawasan Asia Tenggara. ASEAN selama ini dikenal berhati-hati dengan prinsip non-interference, namun isu Palestina memberi peluang ASEAN menunjukkan kepedulian global.
a. Konsolidasi ASEAN di Panggung Dunia
Indonesia bisa mendorong ASEAN memiliki sikap bersama yang lebih vokal. Jika berhasil, ASEAN tidak hanya dikenal sebagai blok ekonomi, tetapi juga memiliki bobot moral dalam isu internasional.
b. Menjaga Hubungan dengan Kekuatan Besar
Sikap tegas Indonesia tentu diperhatikan oleh AS, Uni Eropa, maupun Tiongkok. Apabila ASEAN mendukung langkah Indonesia, maka kawasan ini akan dilihat sebagai aktor independen dengan kredibilitas politik.
c. Solidaritas Dunia Muslim
Malaysia dan Brunei sejak lama mendukung Palestina. Dengan langkah Indonesia, ASEAN berpeluang menjadi kawasan yang memperkuat posisi dunia Muslim di forum internasional, sekaligus meningkatkan soft power kawasan.
Peta Peran Negara ASEAN dalam Isu Palestina
Untuk memahami posisi ASEAN, berikut adalah ilustrasi tingkat dukungan negara anggota dalam isu Palestina–Israel (skala 1–10):
Narasi Per Negara ASEAN
- Indonesia (9/10)
Indonesia menjadi motor utama dukungan ASEAN terhadap Palestina. Sejak era Soekarno hingga sekarang, Indonesia konsisten menolak pengakuan Israel sebelum Palestina merdeka. Pidato Presiden Prabowo di PBB 2025 menegaskan kesinambungan sikap historis ini. - Malaysia (8/10)
Malaysia sangat vokal mendukung Palestina, baik di forum internasional maupun domestik. Dukungan kuat ini terlihat dari pernyataan resmi PM Anwar Ibrahim yang terus menekan Israel dan sekutunya. - Brunei Darussalam (7/10)
Brunei mendukung Palestina terutama melalui jalur diplomatik di OKI (Organisasi Kerja Sama Islam) dan secara konsisten mengikuti langkah Indonesia–Malaysia dalam forum internasional. - Thailand (4/10)
Thailand cenderung netral. Sebagai negara yang menjaga hubungan erat dengan AS dan Israel (terutama perdagangan militer), Thailand lebih berhati-hati. - Filipina (5/10)
Filipina memiliki hubungan diplomatik resmi dengan Israel sejak lama, tetapi juga mendukung prinsip kemerdekaan Palestina. Sikapnya cenderung moderat. - Vietnam (3/10)
Vietnam tidak memiliki keterlibatan kuat. Fokusnya lebih pada hubungan ekonomi global. Walau begitu, Vietnam tetap mendukung resolusi PBB terkait kemerdekaan Palestina. - Singapura (4/10)
Singapura pragmatis, menjaga hubungan diplomatik dengan Israel dan AS, terutama dalam aspek teknologi dan pertahanan. Namun, Singapura tetap mendukung solusi damai dua negara dalam forum internasional. - Laos (2/10)
Laos minim vokal, cenderung mengikuti sikap mayoritas ASEAN. Dukungan lebih bersifat formalitas. - Kamboja (3/10)
Kamboja berhati-hati karena hubungan ekonomi dengan Tiongkok dan beberapa aktor Barat. Namun, tetap mendukung Palestina secara normatif. - Myanmar (2/10)
Myanmar hampir tidak terlibat aktif dalam isu Palestina. Fokus pada krisis internal membuatnya pasif dalam diplomasi internasional.

Interpretasi Grafik:
Indonesia, Malaysia, Brunei: vokal mendukung Palestina di forum internasional.
Thailand, Filipina, Vietnam: moderat, berhati-hati karena kepentingan diplomatik dan ekonomi.
Singapura, Laos, Kamboja, Myanmar: lebih pragmatis, minim keterlibatan aktif.
(Sumber: Kompas.com 2025; ASEAN Secretariat 2023; Al Jazeera 2024; Kemenlu RI; Wisma Putra Malaysia. Grafik bersifat ilustratif analitis.)
Narasi Per Negara ASEAN
Perspektif Teoritis: Realisme dan Moralitas Politik
Dari kacamata realisme politik, dukungan Indonesia pada Palestina bisa dianggap berisiko karena berpotensi mengganggu hubungan dengan sekutu Israel. Namun, Niccolò Machiavelli dalam The Prince (1532) menyebutkan bahwa pemimpin yang efektif adalah mereka yang mampu menyeimbangkan antara force (kekuatan) dan consent (legitimasi).
Dengan sikap ini, Prabowo memperlihatkan bahwa Indonesia memilih jalur legitimasi moral untuk memperkuat posisi geopolitiknya. Sejalan dengan itu, Soekarno dalam Di Bawah Bendera Revolusi (1965) menekankan bahwa politik luar negeri Indonesia harus berpihak pada bangsa-bangsa tertindas.
Momentum Baru bagi Diplomasi Indonesia
Pidato Prabowo di PBB dapat menjadi momentum baru bagi diplomasi Indonesia:
Mediator Potensial: Indonesia bisa mengusulkan peran mediasi, didukung oleh ASEAN dan OKI.
ASEAN sebagai Blok Moral: Dengan kepemimpinan Indonesia, ASEAN dapat memperlihatkan kepedulian global di luar urusan kawasan.
Middle Power Diplomacy: Indonesia meneguhkan diri sebagai middle power yang mampu memainkan peran konstruktif di tengah rivalitas global.
Kesimpulan
Pidato Presiden Prabowo Subianto bukan sekadar pernyataan diplomatik, melainkan deklarasi konsistensi Indonesia sebagai kekuatan moral dunia. Dengan menegaskan solusi dua negara sebagai satu-satunya jalan menuju perdamaian, Indonesia memperlihatkan keberanian untuk berpihak pada prinsip kemanusiaan.
Bagi ASEAN, langkah ini bisa menjadi pemicu konsolidasi kawasan untuk tampil sebagai aktor global yang relevan. Indonesia bukan hanya “big brother” di ASEAN, tetapi juga simbol suara moral dunia ketiga.
Seperti yang dikatakan Kissinger (1994), perdamaian adalah hasil diplomasi yang realistis sekaligus bermoral. Dan sebagaimana diingatkan Machiavelli (1532), kekuasaan sejati lahir dari keseimbangan antara kekuatan dan legitimasi. Pidato Prabowo membuktikan bahwa Indonesia mampu memainkan peran itu—sebagai juru bicara kemanusiaan dalam geopolitik global yang kian rapuh.
Sumber bacaan
Machiavelli, N. (1532/1998). The Prince. Chicago: University of Chicago Press.
Kissinger, H. (1994). Diplomacy. New York: Simon & Schuster.
Chomsky, N., & Pappé, I. (2010). Gaza in Crisis: Reflections on Israel's War Against the Palestinians. Chicago: Haymarket Books.
Hatta, M. (1979). Memoir. Jakarta: Tintamas.Soekarno. (1965). Di Bawah Bendera Revolusi. Jakarta: Panitia Penerbit.
ASEAN Secretariat. (2023). ASEAN Political-Security Community Blueprint. Jakarta.Al Jazeera. (2024). Where Do Asian Countries Stand on Palestine?. Doha: AJ Publishing.
Penulis : Iman Lubis, S.E., M.S.M 2025
