GEMA NUSANTARA

GERAKAN MEDIA ANAK BANGSA NUSANTARA

Subscribe
Opini: Dunia di Persimpangan – Geopolitik, Teknologi, dan Krisis Iklim

Dalam beberapa pekan terakhir, dunia internasional diguncang oleh serangkaian peristiwa yang mencerminkan kompleksitas zaman kita. Dari ketegangan militer di Eropa Timur, stagnasi diplomasi iklim, hingga tarik-menarik geopolitik atas kepemilikan TikTok, semua peristiwa ini bukan sekadar headline sesaat. Ia adalah gambaran bagaimana kekuatan global kini beroperasi di persimpangan geopolitik, teknologi, dan keberlanjutan.

Indonesia, sebagai negara berkembang dengan peran strategis di kawasan Indo-Pasifik, tidak bisa memandang isu-isu ini sekadar tontonan dari jauh. Justru, arah kebijakan global akan sangat menentukan ruang gerak politik, ekonomi, dan keamanan kita ke depan.

Ketegangan di Eropa: Bayangan Perang Dingin Baru

Langkah Inggris mengirim jet tempur untuk misi pertahanan udara di Polandia, dalam kerangka operasi NATO “Eastern Sentry”, menjadi respons terhadap serangkaian serangan drone Rusia yang jatuh ke wilayah Polandia dan Rumania. Situasi ini menegaskan bahwa konflik Rusia–Ukraina tidak lagi terbatas di medan perang Ukraina, tetapi mulai menimbulkan efek riak ke negara-negara tetangga.

Di sisi lain, Rusia bersama Belarus melaksanakan latihan militer besar bernama Zapad 2025. Menurut laporan The Guardian (2025), latihan ini bukan latihan biasa: skenarionya bahkan digambarkan seakan NATO melakukan invasi. Narasi semacam ini mempertegas retorika “kami versus mereka” yang mengingatkan dunia pada logika Perang Dingin.

Swedia pun tak tinggal diam. Setelah wilayah udaranya dilaporkan dilanggar pesawat tak dikenal yang diduga militer Rusia, Stockholm langsung mengumumkan peningkatan anggaran pertahanan. Eropa tampak memasuki spiral ketidakpercayaan yang bisa berujung pada perlombaan senjata baru.

Implikasi untuk Indonesia: meski konflik ini berjarak ribuan kilometer, dampaknya terasa nyata. Krisis energi 2022–2023 menjadi bukti bahwa perang di satu kawasan bisa mengguncang harga minyak dan gas global. Ketidakstabilan di Eropa berpotensi memicu fluktuasi harga energi lagi, yang langsung berimbas pada inflasi domestik dan defisit neraca perdagangan Indonesia.

Diplomasi Iklim yang Mandek

Di saat dunia seharusnya mempercepat transisi energi, diplomasi iklim justru menghadapi tantangan. Reuters (2025) melaporkan bahwa Xie Zhenhua, mantan utusan iklim China yang berpengaruh, akan bertemu dengan pejabat Uni Eropa untuk membangkitkan kembali semangat kerja sama menjelang COP30 di Brasil.

Pertemuan ini krusial karena, menurut sejumlah pengamat, proses negosiasi iklim PBB mengalami kelesuan. Negara-negara besar, terutama Amerika Serikat, dinilai kurang berkomitmen dalam memberikan kepemimpinan moral maupun finansial. Padahal, kesepakatan iklim global tidak akan berjalan efektif tanpa keterlibatan penuh kekuatan utama.

Dampak dari kegagalan diplomasi iklim tidak bisa diremehkan. Negara-negara berkembang seperti Indonesia justru yang paling rentan. Dengan 17 ribu pulau, kenaikan permukaan laut sekadar beberapa sentimeter saja bisa menenggelamkan permukiman dan lahan produktif. Ironisnya, negara-negara berkembang sering kali menjadi “korban utama” meskipun kontribusi emisinya relatif kecil.

Kita bisa mengutip pernyataan Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres pada forum iklim tahun lalu: “The era of global boiling has arrived.” Pernyataan ini menunjukkan urgensi aksi kolektif, bukan sekadar diplomasi simbolis.

Implikasi untuk Indonesia: momentum COP30 harus dimanfaatkan untuk memperkuat posisi diplomasi maritim Indonesia. Kita bisa memimpin narasi global tentang “kerentanan negara kepulauan” dan menuntut pendanaan transisi energi yang lebih adil. Jika tidak, kita hanya akan menjadi penonton yang menanggung risiko paling besar.

TikTok: Pertarungan Data dan Kedaulatan Digital

Isu lain yang menarik perhatian adalah kesepakatan antara Amerika Serikat dan China terkait kepemilikan TikTok. Menurut laporan The Guardian (2025), Washington dan Beijing telah menyetujui kerangka komersial untuk memindahkan operasi TikTok di AS ke entitas yang lebih dikontrol pihak Amerika.

Sekilas, ini hanya masalah bisnis. Namun, sesungguhnya ini adalah refleksi dari pertarungan geopolitik abad ke-21: siapa yang menguasai data, dialah yang menguasai dunia.

TikTok bukan sekadar aplikasi hiburan. Dengan lebih dari satu miliar pengguna global, platform ini menjadi ruang pertarungan narasi, ekonomi kreatif, sekaligus potensi “senjata” psikologis. Kekhawatiran AS berakar dari isu keamanan nasional: data warganya jangan sampai dikuasai Beijing.

Sebagaimana dikatakan analis teknologi Shoshana Zuboff dalam bukunya The Age of Surveillance Capitalism: “Data is not just information; it is power.”

Implikasi untuk Indonesia: isu TikTok seharusnya membuka mata kita tentang pentingnya kedaulatan digital. Saat ini, sebagian besar data masyarakat Indonesia tersimpan di server perusahaan asing. Tanpa regulasi yang jelas dan infrastruktur lokal yang kuat, kita berisiko kehilangan kendali atas aset paling strategis abad ini: data.

Krisis Kemanusiaan di Gaza: Solidaritas Global yang Terbagi

Di luar Eropa dan Asia, dunia juga diguncang kabar mengenai serangan drone yang menimpa kapal bantuan Global Sumud Flotilla di Tunisia. Kapal tersebut membawa aktivis internasional, termasuk Greta Thunberg, dan sedang bersiap menuju Gaza. Meskipun semua penumpang dilaporkan selamat, kejadian ini menambah babak baru dalam krisis kemanusiaan Palestina.

Tunisia membantah bahwa kapal tersebut diserang drone, namun publik internasional terlanjur melihat insiden ini sebagai simbol betapa sulitnya bantuan kemanusiaan masuk ke Gaza. Solidaritas global pun kembali terbelah: ada yang mendukung penuh Palestina, ada pula yang lebih menekankan pada “hak Israel untuk membela diri”.

Implikasi untuk Indonesia: secara politik luar negeri, isu Palestina selalu menjadi salah satu prioritas diplomasi Indonesia. Insiden ini bisa memperkuat posisi kita untuk terus mendorong solusi dua negara, sembari menunjukkan peran aktif di jalur diplomasi kemanusiaan.

Nepal: Generasi Z Melawan Status Quo

Sementara itu di Asia Selatan, Nepal dilanda gelombang protes besar-besaran yang dikenal sebagai “Gen Z protests”. Menurut catatan Wikipedia (2025), demonstrasi ini dipicu oleh isu korupsi, nepotisme, dan larangan terhadap sejumlah platform media sosial.

Protes ini berkembang menjadi gerakan sosial lintas generasi yang menuntut transparansi dan akuntabilitas. Hasilnya dramatis: Perdana Menteri K. P. Sharma Oli akhirnya mengundurkan diri, digantikan Sushila Karki sebagai PM sementara.

Fenomena ini menunjukkan betapa kuatnya peran generasi muda dalam mengubah lanskap politik. Mereka memanfaatkan media sosial bukan hanya untuk hiburan, tetapi sebagai alat mobilisasi politik.

Implikasi untuk Indonesia: dinamika ini bisa menjadi cermin. Dengan mayoritas penduduk kita berasal dari generasi muda, stabilitas politik Indonesia juga akan sangat dipengaruhi oleh kemampuan pemerintah menjawab tuntutan keadilan sosial, transparansi, dan partisipasi digital.

Indonesia di Persimpangan

Dari kelima isu di atas, jelas terlihat bahwa dunia sedang berada di persimpangan besar. Pertanyaan utamanya: apakah kita menuju kerja sama global, atau justru ke arah konflik berkepanjangan?

Bagi Indonesia, jawabannya sangat bergantung pada tiga hal:

Kemampuan membaca arah geopolitik. Kita tidak boleh sekadar reaktif, tetapi perlu memiliki skenario jangka panjang menghadapi ketidakpastian global.

Kedaulatan energi dan digital. Dua hal ini adalah “mata uang baru” dalam percaturan global. Tanpa kemandirian di kedua sektor ini, kita akan selalu menjadi pihak yang rentan.

Diplomasi aktif berbasis kepentingan nasional. Baik dalam isu iklim, konflik kemanusiaan, maupun ekonomi digital, Indonesia harus tampil bukan sekadar sebagai penonton, melainkan sebagai pemain kunci.

Penutup

Dunia saat ini seperti berada di sebuah simpang jalan yang ramai, dengan kendaraan melaju dari segala arah: konflik militer, krisis iklim, persaingan teknologi, hingga pergolakan politik domestik di berbagai negara.

Pilihan yang tersedia sederhana namun menentukan: apakah kita menabrak satu sama lain, ataukah kita belajar mengatur lalu lintas global secara lebih tertib dan adil?

Sebagaimana dikatakan Henry Kissinger dalam bukunya World Order: “The international system has always been built not just on power, but on the perception of legitimacy.”

Artinya, yang dibutuhkan bukan sekadar kekuatan militer atau ekonomi, tetapi juga legitimasi moral untuk memimpin dunia. Di titik inilah Indonesia bisa mengambil peran lebih besar — sebagai jembatan antara Utara dan Selatan, antara negara maju dan berkembang, antara idealisme dan realitas.

Sumber berita: The Guardian (2025), Reuters (2025), India Times (2025), Wikipedia (2025)

Penulis : IL

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *