GEMA NUSANTARA

GERAKAN MEDIA ANAK BANGSA NUSANTARA

Subscribe
Ruang Bersama UKO (Unit Kegiatan Olah raga) 2025: Kunci Mengubah Rivalitas Menjadi Solidaritas

Ruang Bersama UKO: Bukan Sekadar Tempat, tapi Rumah Kebersamaan

Di banyak kampus, Unit Kegiatan Olahraga (UKO) seringkali identik dengan aktivitas fisik, kompetisi, dan prestasi. Namun, ada satu hal penting yang kerap terlewat: kebutuhan akan ruang bersama. Bukan hanya ruang fisik berupa sekretariat atau lapangan, melainkan ruang sosial, kultural, dan psikologis yang menjadi wadah tumbuhnya kebersamaan.

Pertanyaannya, bagaimana kita bisa mewujudkan ruang bersama itu di tengah UKO yang menaungi berbagai cabang olahraga dengan ego, kepentingan, dan karakter yang beragam?

Lebih dari Sekadar Sekretariat

Sering kali, mahasiswa melihat ruang bersama sebatas sekretariat: tempat menyimpan perlengkapan, rapat, atau menunggu jadwal latihan. Padahal, ruang bersama idealnya harus berfungsi sebagai pusat interaksi.

Sosiolog Ray Oldenburg dalam bukunya The Great Good Place (1999) memperkenalkan istilah third place, ruang pertemuan di luar rumah (first place) dan kampus/kelas (second place). Third place adalah ruang informal yang memungkinkan komunitas tumbuh. Dalam konteks UKO, ruang bersama bisa menjadi third place di mana mahasiswa olahraga dari berbagai cabang bertemu, berbagi cerita, dan membangun identitas kolektif.

Bayangkan jika sekretariat UKO bukan hanya ruang administrasi, tetapi juga “living room” olahraga kampus: ada papan prestasi bersama, foto-foto sejarah UKO, hingga sudut diskusi yang nyaman. Dari situlah lahir rasa memiliki yang kuat.

Menyatukan yang Berbeda

UKO ibarat “miniatur negara” dengan banyak “provinsi”—cabang olahraga yang punya tradisi dan prestasi masing-masing. Tanpa ruang bersama, cabang-cabang ini bisa berjalan sendiri-sendiri, bahkan saling bersaing tidak sehat.

Di sinilah ruang bersama berperan sebagai jembatan penyatu. Melalui kegiatan lintas cabang seperti sports day, pelatihan kepemimpinan atlet, atau bakti sosial, identitas kolektif UKO semakin kokoh.

Etzioni (2015) dalam teori communitarianism menekankan pentingnya sense of belonging untuk memperkuat kohesi sosial. UKO yang punya ruang bersama sejatinya sedang membangun ikatan sosial yang melampaui batas cabang olahraga. Dengan begitu, prestasi satu cabang dirayakan sebagai kemenangan seluruh UKO, bukan sekadar milik segelintir atlet.

Menghadirkan Budaya Kolektif

Ruang bersama juga bukan hanya soal “tempat bertemu”, tetapi juga budaya bersama. Budaya ini bisa lahir dari simbol (logo, yel-yel, bendera UKO), tradisi (malam keakraban atlet, pelepasan kontingen), hingga penghargaan kolektif (perayaan prestasi bersama).

Dalam budaya organisasi, Edgar Schein (2010) menegaskan bahwa simbol dan ritual adalah fondasi pembentuk identitas kolektif. Artinya, ruang bersama bukan hanya fisik, tetapi juga simbolis—ruang di mana mahasiswa merasa menjadi bagian dari keluarga besar UKO.

Tantangan yang Harus Disadari

Tentu, mewujudkan ruang bersama bukan hal mudah. Ada beberapa tantangan:

Keterbatasan fasilitas kampus. Tidak semua kampus menyediakan sekretariat atau ruang olahraga memadai.

Dominasi cabang tertentu. Cabang olahraga populer seringkali mendapat sorotan lebih, sehingga menimbulkan rasa iri cabang lain.

Kurangnya kebijakan kelembagaan. Tanpa aturan adil dalam pembagian ruang, jadwal, dan anggaran, kebersamaan mudah rapuh.

Namun, tantangan ini justru bisa dijadikan momentum untuk memperjuangkan ruang bersama yang lebih inklusif.

Strategi Mewujudkan Ruang Bersama

Ada beberapa langkah realistis yang bisa ditempuh:

Fisik: Mengusulkan sekretariat UKO yang representatif, lengkap dengan papan informasi, ruang rapat, dan sudut dokumentasi prestasi.

Sosial: Membuat forum rutin lintas cabang, baik formal (rapat bulanan) maupun informal (diskusi santai).

Kultural: Membentuk tradisi bersama, seperti malam apresiasi atlet atau fun games lintas cabang.

Kelembagaan: Mengadvokasi kebijakan kampus terkait alokasi anggaran, ruang, dan fasilitas olahraga agar lebih adil dan merata.

Lebih dari Prestasi

Akhirnya, ruang bersama di UKO harus dipahami bukan hanya sarana mendukung prestasi olahraga, tetapi juga investasi sosial. Mahasiswa belajar menghargai perbedaan, membangun solidaritas, dan memperkuat identitas kolektif.

Bukankah tujuan utama organisasi kemahasiswaan bukan sekadar mencetak juara, tetapi juga membentuk manusia yang mampu hidup dalam kebersamaan?

Dengan ruang bersama, UKO bukan lagi sekadar wadah cabang olahraga, melainkan rumah kebersamaan bagi seluruh mahasiswa pecinta olahraga.

Penutup:


UKO membutuhkan ruang bersama agar tidak terjebak dalam sekat-sekat cabang olahraga. Ruang itu bisa berupa sekretariat yang nyaman, forum lintas cabang yang rutin, maupun budaya kolektif yang inklusif. Seperti kata pepatah, “jika ingin pergi cepat, pergilah sendiri; jika ingin pergi jauh, pergilah bersama.”

UKO hanya akan benar-benar kuat jika berjalan bersama.

Sumber Bacaan

Oldenburg, R. (1999). The Great Good Place. New York: Marlowe & Company.

Etzioni, A. (2015). The New Normal: Finding a Balance between Individual Rights and the Common Good. Routledge.

Schein, E. H. (2010). Organizational Culture and Leadership. Jossey-Bass.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *