Retensi Mahasiswa adalah Fokus Universitas di Indonesia
Salah satu tantangan serius yang dihadapi perguruan tinggi di Indonesia maupun di dunia adalah retensi mahasiswa—yakni kemampuan universitas mempertahankan mahasiswa sejak awal masuk hingga lulus. Tingkat retensi yang rendah berarti kampus kehilangan potensi mahasiswa, baik karena mereka pindah ke universitas lain, cuti berkepanjangan, atau bahkan putus kuliah sama sekali.
Fenomena ini tentu berdampak pada reputasi institusi, akreditasi, hingga kepercayaan publik. Namun pertanyaannya: apakah mengutamakan hegemoni akademik—yakni dominasi nilai, IPK, dan reputasi ilmiah—cukup untuk mempertahankan mahasiswa, terutama mahasiswa baru?
Akademik Penting, Tapi Tidak Satu-Satunya
Dalam tradisi banyak perguruan tinggi, ruang akademik ditempatkan sebagai pusat segalanya. Mahasiswa dianggap “sukses” bila mereka mampu meraih IPK tinggi, berprestasi dalam riset, atau memenangkan kompetisi ilmiah. Universitas pun lebih suka menonjolkan pencapaian akademik dalam publikasi resmi, mulai dari ranking dunia hingga publikasi jurnal bereputasi.
Tidak bisa dipungkiri, pendekatan ini memang memberi standar yang jelas. Mahasiswa mengetahui apa yang diharapkan dari mereka, kampus memiliki parameter yang bisa diukur, dan publik dapat melihat pencapaian akademik sebagai tolok ukur mutu.
Namun, penelitian klasik Victor Tinto (1993) dalam Leaving College menunjukkan bahwa retensi mahasiswa tidak hanya ditentukan oleh keberhasilan akademik, tetapi juga oleh kemampuan mereka berintegrasi secara sosial di lingkungan kampus. Artinya, nilai akademis yang bagus memang penting, tetapi tidak cukup untuk membuat mahasiswa bertahan hingga lulus.
Faktor Sosial dan Rasa Memiliki
Banyak mahasiswa baru mengalami apa yang disebut transition shock. Mereka tiba-tiba harus meninggalkan rumah, menyesuaikan diri dengan budaya belajar yang berbeda, dan menghadapi tekanan sosial maupun akademik. Tanpa dukungan sosial yang memadai, mereka bisa merasa terisolasi.
Penelitian Hausmann, Schofield, & Woods (2007) menunjukkan bahwa sense of belonging atau rasa memiliki di kampus sangat memengaruhi niat mahasiswa untuk tetap bertahan. Mahasiswa yang merasa “kampus adalah rumah kedua” lebih tahan terhadap tekanan akademik dibanding mereka yang hanya datang kuliah lalu pulang.
Sementara itu, Thomas (2012) dalam laporan What Works? Student Retention and Success menekankan bahwa mahasiswa yang memiliki keterikatan sosial lebih tinggi cenderung bertahan, bahkan ketika mereka menghadapi kesulitan finansial atau akademik.
Dengan kata lain, jika kampus terlalu larut dalam hegemoni akademik, ia berisiko mengabaikan kebutuhan sosial mahasiswa—yang justru merupakan kunci retensi.
Engagement di Luar Kelas
Aspek lain yang sering dianggap “sekunder” adalah keterlibatan mahasiswa di luar kelas. Organisasi mahasiswa (ormawa), unit kegiatan seni, olahraga, hingga komunitas sukarela kerap dipandang hanya sebagai pelengkap.
Padahal, George Kuh (2009) dalam kajian tentang student engagement menegaskan bahwa keterlibatan aktif mahasiswa di luar kelas adalah prediktor paling konsisten bagi keberhasilan dan retensi mahasiswa.
Hal yang sama ditegaskan oleh Astin (1999), bahwa semakin besar keterlibatan mahasiswa dalam kehidupan kampus—baik akademik maupun non-akademik—semakin tinggi kemungkinan mereka untuk bertahan hingga lulus.
Jadi, kampus yang terlalu mengedepankan hegemoni akademik berisiko kehilangan salah satu sumber daya terpenting dalam menjaga retensi: ruang sosial yang memberi makna lebih luas bagi mahasiswa.
Faktor Ekonomi dan Psikologis
Selain faktor akademik dan sosial, retensi mahasiswa juga sangat dipengaruhi oleh kondisi ekonomi dan psikologis.
Chen & DesJardins (2008) dalam studi mereka menemukan bahwa dukungan finansial, seperti beasiswa dan keringanan biaya, signifikan menurunkan risiko mahasiswa keluar, khususnya bagi mereka dari keluarga berpenghasilan rendah.
Sementara itu, Robbins dkk. (2004) dalam meta-analisis menunjukkan bahwa faktor psikososial—motivasi, self-efficacy (keyakinan diri), dan tujuan karier—berhubungan langsung dengan retensi mahasiswa.
Kampus yang hanya menekankan IPK dan prestasi ilmiah tanpa memperhatikan kesejahteraan finansial dan psikologis mahasiswa sama saja menutup mata pada realitas yang dihadapi sebagian besar mahasiswanya.
Dukungan Institusional: Peran yang Sering Terlupakan
Aspek lain yang kerap diabaikan adalah dukungan institusional. Layanan akademik, konseling, program orientasi, mentoring dosen, hingga kebijakan kampus yang inklusif dapat menjadi faktor penentu retensi.
Braxton, Hirschy, & McClendon (2004) menegaskan bahwa kebijakan universitas dan dukungan langsung dari fakultas merupakan prediktor kuat bagi mahasiswa untuk bertahan. Dengan kata lain, retensi bukan hanya tanggung jawab mahasiswa, tetapi juga institusi yang menaunginya.
Menggeser Hegemoni Akademik
Dari semua temuan di atas, jelas bahwa retensi mahasiswa tidak dapat dijaga hanya dengan mengandalkan hegemoni akademik. Memang, kampus memerlukan reputasi ilmiah dan standar akademis yang tinggi. Namun, menjadikan akademik sebagai satu-satunya poros justru bisa kontraproduktif.
Kampus yang terlalu kaku dalam mengutamakan prestasi akademik seringkali tidak memberi ruang bagi mahasiswa untuk berkembang secara sosial, emosional, dan psikologis. Akibatnya, mahasiswa baru merasa tidak memiliki tempat yang nyaman untuk tumbuh, dan sebagian dari mereka akhirnya memilih pergi.
Sebaliknya, universitas yang mampu menyeimbangkan hegemoni akademik dengan ruang non-akademik akan menciptakan ekosistem pendidikan yang lebih sehat.
Apa yang Harus Dilakukan?
Ada beberapa langkah yang bisa dilakukan perguruan tinggi untuk menjaga retensi mahasiswa baru tanpa terjebak dalam hegemoni akademik semata:
Membangun sistem mentoring yang kuat. Mahasiswa baru perlu didampingi senior atau dosen agar adaptasi mereka lebih mulus.
Memperkuat organisasi mahasiswa dan kegiatan non-akademik. Jangan hanya menjadikan ormawa sebagai pelengkap, tetapi sebagai bagian integral dari kehidupan kampus.
Memberikan dukungan finansial yang inklusif. Beasiswa, skema cicilan, atau bantuan darurat bisa sangat membantu mahasiswa bertahan.
Menyediakan layanan konseling dan dukungan psikologis. Burnout dan masalah mental sering menjadi alasan mahasiswa keluar.
Menciptakan budaya kampus yang ramah dan inklusif. Perasaan diterima adalah kunci retensi jangka panjang.
Penutup
Retensi mahasiswa bukanlah soal menjaga mereka agar tetap duduk di kelas dan lulus tepat waktu. Lebih dari itu, retensi adalah soal bagaimana kampus bisa menciptakan lingkungan yang membuat mahasiswa merasa berharga, diterima, dan mampu berkembang—baik secara akademik, sosial, maupun pribadi.
Hegemoni akademik mungkin memberi reputasi, tetapi keseimbangan antara akademik dan ruang non-akademiklah yang akan memberi kampus loyalitas jangka panjang dari mahasiswanya.
Jika perguruan tinggi benar-benar ingin menjadi rumah kedua bagi mahasiswanya, maka sudah saatnya hegemoni akademik digeser menuju pendekatan yang lebih integratif, inklusif, dan humanis.
Sumber Bacaan
Astin, A. W. (1999). Student involvement: A developmental theory for higher education. Journal of College Student Development, 40(5), 518–529.
Braxton, J. M., Hirschy, A. S., & McClendon, S. A. (2004). Understanding and reducing college student departure. ASHE-ERIC Higher Education Report, Vol. 30, No. 3. San Francisco: Jossey-Bass.
Chen, R., & DesJardins, S. L. (2008). Exploring the effects of financial aid on the gap in student dropout risks by income level. Research in Higher Education, 49(1), 1–18. https://doi.org/10.1007/s11162-007-9050-0
Hausmann, L. R. M., Schofield, J. W., & Woods, R. L. (2007). Sense of belonging as a predictor of intentions to persist among African American and White first-year college students. Research in Higher Education, 48(7), 803–839. https://doi.org/10.1007/s11162-007-9052-9
Kuh, G. D. (2009). The National Survey of Student Engagement: Conceptual and empirical foundations. New Directions for Institutional Research, 2009(141), 5–20. https://doi.org/10.1002/ir.283
Robbins, S. B., Lauver, K., Le, H., Davis, D., Langley, R., & Carlstrom, A. (2004). Do psychosocial and study skill factors predict college outcomes? A meta-analysis. Psychological Bulletin, 130(2), 261–288. https://doi.org/10.1037/0033-2909.130.2.261
Thomas, L. (2012). Building student engagement and belonging in higher education at a time of change. Paul Hamlyn Foundation. London, UK.
Tinto, V. (1993). Leaving college: Rethinking the causes and cures of student attrition (2nd ed.). Chicago: University of Chicago Press.
