GEMA NUSANTARA

GERAKAN MEDIA ANAK BANGSA NUSANTARA

Subscribe
“Gratis Boleh, Tapi Jangan Hilangkan Daya Juang dengan 5 Pertimbangan”

Menimbang Program Makan Gratis dan Tantangan Mental Ketergantungan di Indonesia

Program makan gratis yang digagas oleh pemerintah Indonesia pada awal 2025 menandai salah satu kebijakan kesejahteraan terbesar dalam beberapa tahun terakhir. Dengan anggaran awal yang sangat besar dan target penerima hingga jutaan anak serta wanita hamil, harapannya adalah: tidak ada satu anak pun yang datang ke sekolah dalam keadaan lapar. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan dua sisi—di satu pihak niat baik besar, di sisi lain muncul persoalan serius: bagaimana menjaga bahwa bantuan gratis justru membangun kemajuan, bukan menumbuhkan ketergantungan?

Berita dari Reuters (16 Okt 2025) melaporkan bahwa program makan gratis sekolah di Indonesia tertunda mencapai target karena kurangnya fasilitas dapur, khususnya di wilayah terpencil seperti Papua. Target awal untuk tahun ini ialah 83 juta penerima, namun realisasinya diperkirakan hanya sekitar 70 juta serta pengoperasian sebanyak 11 000 dapur saja untuk melayani lebih dari 35 juta anak dan wanita.


Sebelumnya, pada 22 September 2025 Reuters juga melaporkan bahwa lebih dari 6 000 anak telah menderita keracunan makanan terkait program ini, dan LSM meminta penghentian sementara program hingga standar keamanan diperkuat.

Kedua laporan ini menjadi latar nyata bagi bahasan yang lebih luas tentang mentalitas “gratis” di masyarakat: apakah kita benar­­–benar memahami bahwa di balik bantuan besar, ada proses, tanggung jawab, dan risiko?

Hak Sosial vs Mental Ketergantungan

Secara hukum dan moral, warga negara berhak atas perlindungan dan bantuan dari negara—termasuk jaminan gizi dan akses pendidikan. Namun hak ini tidak otomatis menghapus kewajiban sosial atau moral. Di sini muncul tension yang disebut teori entitlement mentality. Menurut Campbell dkk., (2004), orang yang memiliki mental entitlement cenderung merasa berhak mendapat sesuatu tanpa perlu memberi timbal balik yang sepadan. Hal ini sangat mungkin terjadi ketika program “gratis” disediakan tanpa disertai edukasi tanggung jawab atau kerjasama sosial.

Ketika masyarakat, khususnya penerima manfaat, melihat bantuan sebagai kewajiban yang harus diberikan tanpa menanyakan proses di baliknya, maka bantuan tersebut bisa beralih fungsi: dari alat pemberdayaan menjadi alat ketergantungan. Apalagi ketika laporan menunjukkan bahwa program hingga saat ini masih berada dalam “fase − perbaikan”: dapur belum siap, standar keamanan belum merata, dan risiko keracunan muncul. Reuters (01/10/2025)

Timbal Balik Sosial: Pentingnya Kontribusi oleh Penerima

Teori pertukaran sosial dari Blau (1964) menggarisbawahi bahwa hubungan antara pemberi dan penerima haruslah seimbang: menerima sesuatu menuntut tanggung jawab untuk memberi ataupun menjaga. Dalam konteks program makan gratis, ini berarti bahwa penerima—baik sekolah, siswa, orang tua—juga memiliki bagian dalam menjaga keberlanjutan program: menjaga kebersihan dapur, mematuhi standar pangan, ikut serta dalam pendampingan gizi dan sanitasi.

Ketidakseimbangan muncul jika penerima hanya menuntut tanpa terlibat. Misalnya, ketika kasus keracunan muncul—lebih dari 9 000 anak dilaporkan menderita keracunan pada program ini di tahun 2025. Reuters (01/10/2025) Apakah kita cukup membekali sekolah dan masyarakat dengan kapasitas untuk menjaga mutu? Atau kita hanya memberi “gratis” kemudian berharap semuanya berjalan lancar?

Etika Kerja dan Pendidikan Karakter

Menurut Weber (1905), etika kerja keras dan tanggung jawab pribadi adalah nilai yang membentuk masyarakat modern. Di era “gratis = mudah”, nilai tersebut tersentuh oleh budaya instan: segala hasil diharapkan cepat tanpa proses panjang. Program makan gratis, jika tidak dipadukan dengan pendidikan karakter dan etos kerja, berpotensi memperkuat mental instan: “saya dapat, saya habiskan, saya bergantung”.

Sebaliknya, program seperti ini bisa menjadi wahana karakter: siswa ikut membantu persiapan makanan, menjaga kebersihan dapur, menjadi agen edukasi gizi di lingkungan mereka. Dengan demikian, “gratis” bukan bebas tanggung jawab, melainkan amanah sosial.

Dari Bantuan ke Mandiri: Strategi Menuju Kemajuan

Untuk menjamin bahwa program makan gratis benar-benar menciptakan kemajuan, berikut beberapa strategi penting:

  1. Integrasi Insentif Produktif: bantuan makan gratis dijadikan bagian dari program pembelajaran kewirausahaan pangan di sekolah; melibatkan petani lokal sebagai pemasok; menggabungkan pelatihan manajemen dapur dan gizi bagi sekolah penerima.
    Dengan demikian, bantuan membuka jalan bagi penciptaan kapasitas, bukan hanya konsumsi.
  2. Syarat Keterlibatan Penerima: penerima program siswa/orang tua turut serta dalam pemantauan, evaluasi, atau kegiatan sosial. Ini menegakkan prinsip exchange: menerima berarti turut memastikan keberlanjutan.
  3. Transparansi dan Partisipasi Publik: publik perlu tahu bahwa dana besar dialokasikan—171 triliun rupiah pada 2025 untuk program ini, menurut laporan Reuters Reuters (16/10/2025). Dengan transparansi, muncul rasa pemilik bersama (sense of ownership) yang bisa menumbuhkan tanggung jawab kolektif.
  4. Exit Strategy Pertumbuhan Mandiri: program gratis tidak dirancang sebagai bantuan permanen tanpa syarat, tetapi sebagai jembatan: setelah beberapa tahun, sekolah atau komunitas penerima mampu mengelola sendiri melalui koperasi pangan, usaha kecil, atau kemitraan lokal. Ini sejalan dengan gagasan Amartya Sen (1999) bahwa pembangunan sejati adalah tentang kebebasan dan kemampuan manusia, bukan ketergantungan terhadap bantuan.
  5. Kualitas Pelaksanaan dan Keamanan: kasus keracunan menunjukkan bahwa kualitas pelayanan tetap menjadi tantangan utama. Pemerintah telah menutup dapur yang tidak memenuhi standar dan menaikkan pengawasan Reuters(26/09/2025). Hal ini menunjukkan bahwa program gratis saja tidak cukup—eksekusi harus dapat dipertanggungjawabkan.

Mengembalikan Makna “Gratis” sebagai Amanah

Kata “gratis” selama ini sering disalahartikan sebagai “bebas tanpa biaya.” Padahal secara sosial dan moral, gratis berarti “biaya ditanggung oleh kolektif,” sering kali melalui pajak, tenaga kerja, atau kontribusi masyarakat lainnya. Ketika masyarakat terlalu fokus pada klaim hak, dan lupa bahwa setiap fasilitas publik adalah hasil dari kerjasama banyak pihak, maka lahirlah mental “berhak dan menuntut” tanpa tanggung jawab.

Program makan gratis bisa kembali bermakna positif jika kita mengubah paradigma: dari bantuan sebagai hak semata, menjadi program sebagai investasi sosial jangka panjang, yang menuntut partisipasi, kontribusi, dan pembelajaran bagi penerima.

Penutup

Kebijakan makan gratis adalah langkah besar yang menunjukkan komitmen negara pada kesejahteraan anak dan masyarakat miskin. Namun besar tidak selalu berarti baik jika tanpa pengelolaan yang matang dan kesadaran masyarakat yang tepat. Ketika bantuan diberikan tanpa difasilitasi nilai tanggung jawab, maka kita akan menuai ketergantungan, bukan kemajuan.

Mari kita bersama-sama memaknai “gratis bukan berarti tanpa makna”, “hak bukan berarti tanpa kewajiban.” Karena bangsa yang dewasa bukan hanya ditandai dengan seberapa banyak yang diterima warganya, tetapi seberapa banyak warga yang berkontribusi dalam pembangunan bersama.

Silakan menambah opini di GEMA NUSANTARA

Penulis : Redaksi Gema Nusantara

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *